Minggu, 21 Agustus 2016

CERPEN


COFFEEMATE
           
Cinta pada pandangan pertama terjadi karena fisik, bukan karena hati. Ia tidak benar-benar ada seutuhnya, tapi sebatas tampilan luar semata. Seperti halnya mengharapkan zam-zam di Gurun Sahara. Fatamorgana.
            Aku mengangguk-angguk. Masuk akal juga.
“Kamu kenapa, Mer? Angguk-angguk kepala enggak jelas,” celetuk perempuan yang duduk di depanku, terpisahkan oleh meja kecil tempat kami meletakkan minuman dan snack.
“Ini nih, aku setuju dengan kalimat dalam cerpen VANOZ ini. Judulnya Bukan Fatamorgana. Intinya, cinta pada pandangan pertama itu enggak pernah ada,” jelasku sambil menyodorkan majalah yang sedang kubaca. Ia memandang sekilas sambil mengangguk-angguk.
“Kamu juga enggak percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada?” tanyaku memastikan arti anggukannya.
“Itu dulu. Tapi enggak lagi. Kamu baru baca prolog hatinya saja kan? Coba baca sampai akhir. Dari judulnya saja sudah jelas, kalau akhirnya sang protagonis itu percaya bahwa love at first sight[1] itu bukan fatamorgana semata,” paparnya.
Aku terkesima. “Kamu sudah baca cerpennya?” tanyaku tak percaya.
“Itu kan majalah aku. Setiap buku atau majalah yang aku pinjamkan ke orang biasanya sudah kubaca habis,” jelasnya sambil menyeruput moccacino hangat.
Enggak seru. Niat mau mengejutkan dengan quote menarik, ternyata dia tahu lebih dulu.
“Kamu suka sekali kopi ya?” tanyaku selanjutnya. Setiap mampir ke kantin, warung, atau tempat lainnya yang menyediakan minuman, pesanan Rin selalu sama. Moccacino late. Kecuali jika sambil makan, ia memesan air putih juga. Termasuk di sini, sebuah mini market 24 jam yang menyediakan tiga set meja kursi untuk pembeli yang sekedar mampir untuk membeli minuman dan melepas penat.
“Rinai?” sapa seseorang. Aku dan Rin menoleh. Seorang perempuan berkerudung pashmina telah berdiri di samping meja kami.
“Ya Allah. Astri ya?” tanya Rin berusaha mengenali perempuan itu yang lalu ditimpali dengan anggukan. Rin bangkit dari duduknya lalu bersalaman sambil cipika-cipiki dengan Astri, sebelum akhirnya saling berpelukan.
“Sudah berapa lama ya kita enggak bertemu? Kamu bagaimana kabarnya? Sibuk apa sekarang?” tanya Rin antusias.
Astri tertawa. “Kamu itu selalu saja memborong pertanyaan. Kayak lagi di kelas saja. Aku jawab satu-satu deh. Terakhir kita bertemu ya sehari setelah wisuda kelulusan, jadi sudah lebih dari setahun. Alhamdulillah kabar aku baik dan sekarang sibuk jadi istri, alias ibu rumah tangga, hihihi ….,” paparnya.
“Lho jadi kamu sudah nikah? Kapan? Kok enggak undang-undang? Waktu nikahan aku juga enggak datang,” tanya Rin memasang wajah cemberut.
“Maaf, maaf. Soalnya dua hari setelah wisuda,  tepatnya sehari setelah aku dari rumah kamu, aku ada undangan wawancara kerja di luar negeri. Jadi aku minta adikku yang mewakilkan untuk menghadiri pernikahanmu. Tapi sebenarnya, kerjanya sih enggak jadi. Karena yang wawancara aku malah ngelamar aku. Hihihi. Akad juga cuma dihadiri keluarga inti, terus kami langsung terbang ke rumah suami. Resepsinya diadakan di sana,” jelas Astri.
“Di mana resepsinya?”
“Di Kuala Lumpur. Oh iya, ini suamiku, Hasan Sinclair,” memperkenalkan laki-laki yang datang dari arah kasir. Wajah orientalnya menunjukkan bahwa ia blasteran Melayu-Western.
Astaghfirullah. Aku lupa mengenalkan temanku juga. Kenalkan, ini rekanku di toko online, namanya Meri.”
Aku mendelik. Ingin rasanya mengatakan, “Akhirnya kamu ingat juga kalau aku masih di sini, non.” Rin meringis melihat pelototanku. Suami Astri tersenyum sambil mengangguk pada kami. Astri mengajakku bersalaman.
“Wah, jadi toko online yang kamu rintis waktu tingkat akhir kuliah itu masih jalan? Alhamdulillah ….,” Astri terlihat ikut senang.
“Iya, Alhamdulillah, sekalian mengisi waktu luang sebelum sibuk kalau diamanahi momongan,” ucap Rin tersipu.
“Ho, lagi ‘ngisi’ ya?”
Rin menggeleng. “Belum. Kami jarang bertemu selama setahun kemarin karena Mas Aga dinas praktik di NTB dan baru pindah ke sini pekan lalu,” aku Rin sambil tersenyum.
“Ho, jadi nikah setahun terasa seperti pengantin baru, dong ya?” goda Astri. “Barokallah ya, Rin. Mudah-mudahan Allah memberi yang terbaik untukmu dan keluarga,” sambungnya lagi.
Aamiin Allahumma aamiin, wa antuma aydhon.[2]
“Kami dipertemukan, berpisah, lalu bertemu kembali karena kopi. Tapi kurasa itu juga karena do’amu waktu itu.”
“Semua sudah ada dalam tulisan-Nya, Rin,” timpal Astri.
Rin mengangguk.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula,” ucap Rin dan Astri bersamaan. Keduanya pun tertawa.
Ckckck. Kompaknya.
 “Aku pamit dulu ya, Rin, Meri. Tadi janjinya ke luar sebentar ke orang tuaku dan mertua, jadi keasyikan ngobrol. Mudah-mudahan lain kali bisa ngobrol lebih lama. Kalau kalian enggak sibuk, main ke rumah ya,” ajak Astri. Kami mengangguk.
Insya Allah.
Astri cipika-cipiki lagi dengan Rin. Kali ini denganku juga. Rin tersenyum memandang kepergian Astri hingga mobil yang dinaiki sahabat lamanya dengan suami pergi dari tempat parkir. Tak hanya kebahagiaan bertemu teman lama, aku menangkap kelegaan juga di wajahnya.
“Kau tahu filosofi tentang kopi?” tanyaku sepeninggal Astri dan suaminya.
Rin menggeleng, ”aku belum menonton filmnya.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan film itu.”
“Lalu?”
“Filosofi yang ini berbeda. Ada quotes menarik tentangnya. Ini bunyinya. Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
“Bukankah quotes itu ada dalam karya Dee Lestari?” tanyanya.
“Ck. Kamu bilang belum nonton filmnya.”
“Aku memang belum nonton filmnya, tapi aku sudah baca bukunya. Lagipula aku memang sering lupa judul novel yang kubaca, tapi pengarang dengan quotesnya yang menarik tidak bisa kulupakan. Dari banyak quotes dalam novel Dee, ada tiga yang kusuka. Salah satunya yang baru kamu sebutkan tadi. Dua lainnya kamu mau dengar?”
Aku terpaksa mengangguk. Menolak pun kamu pasti akan tetap mengatakannya.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Saling menyayang bila ada ruang? Ini yang ke dua.”
Quote yang bagus. Tapi aku kok kayak baru dengar. Apa karena enggak nonton sampai akhir? Ini pasti karena aku sempat ketiduran di bioskop.
Separuh jiwa yang dia pikir hilang ternyata tidak pernah ke mana-mana, hanya berganti sisi, permainan gelap terangnya matahari dan bulan. Ini yang ke tiga.”
Ah, aku kalah telak. Dia selalu lebih banyak tahu daripada aku.
“Jadi, apa jawabanmu untuk pertanyaanku tadi?” tanyaku lagi.
“Pertanyaan yang mana?” tanya Rin sambil memandangku.
“Kenapa kamu begitu menyukai kopi?” Kopi yang kuseduh masih panas. Aku terpaksa menunggunya menghangat.
“Penting ya dijawab?” tanyanya lagi memasang wajah misterius.
“Penting dong. Kamu kan tahu aku ini orangnya kepo. Lagipula aku rasa, ada hubungannya dengan Astri.”
Rin menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali perlahan.
 “Sebenarnya tidak hanya kopi. Semua inovasi olahan kopi aku juga suka. Moccacino, Cappucino, kopi susu. Mungkin lebih tepat jika dibilang, aku ini penyuka caffeine yang banyak terkandung dalam kopi. “
***
“Kamu mau bicara apa, Tri?” tanya Rin membelakangi Tri. Ia tengah menjemur seragam wisuda dan toga yang dikenakannya kemarin. Gelar Sarjana Psikologi telah berhasil diraihnya.
“Mengenai Mas Aga, aku mau minta maaf,” ujar Tri pelan.
“Kamu tidak salah. Jadi apa yang perlu dimaafkan?” tanya Rin sambil membelakangi Tri. Pakaian di ember sudah habis. Tapi ia tidak masih di tempat, berdiri membelakangi Tri.
“Aku tidak ingin perpisahan kita seperti ini, Rin. Kita berteman baik-baik. Maka berpisah pun harus baik-baik.”
“Apa kamu anggap pertemuan ini perpisahan? Mengakhiri pertemanan?”
“Bukan itu maksudku. Aku masih dan ingin selalu berteman denganmu. Terutama setelah aku sadar akan satu hal. Kamu tipe orang yang rela mengalah demi sahabat.”
Rin terdiam.
“Apa kau puas dengan akhir yang seperti ini?” tanya Astri.
“Maksud kamu?” Rin balik tanya.
“Kenapa kamu tidak peka? Dia menyukaimu sejak pertama bertemu.”
“Mas Aga? Bukankah kamu tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Seperti halnya kamu tidak percaya bahwa aku menyukainya sejak pertama melihatnya. Lagipula sekarang, aku sudah tidak menyukainya.”
“Itu dulu, Rin. Sekarang aku sadar. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Termasuk cinta pada pandangan pertama. Ia tidak hanya mencintai sebatas fisik, tapi lebih karena inner beauty. Ia menyukaimu karena itu.”
“Tapi aku …. aku tidak menyukainya, Tri,” ucap Rin menunduk.
“Aku tahu kamu menyukainya, Rin. Sama seperti dia menyukaimu. Tapi kamu ingin menjaga perasaanku, bukan? Aku sudah tahu semuanya. Entah kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Kamu berusaha memendam perasaanmu demi aku.”
“Aku .… aku ….,” Rin memejamkan mata. Dua bulir air menetes dari sana.
Tangan Astri menyentuh pundak Rin. Rin berbalik dan menghambur ke pelukan Astri.
“Tapi aku sudah mengikhlaskannya, Tri. Aku sudah menolak lamarannya ke orang tuaku kemarin. Besok, dia berangkat ke NTB,” ucap Rin sambil menumpahkan tangisnya, membuat Tri terkejut lalu melepas pelukan Rin.
“Besok? Tapi masih belum terlambat, Rin. Aku akan menemuinya sekarang.”
Rin menggeleng. “Please, jangan, Tri. Aku sudah tulus melepaskannya. Kalaupun kami memang ditakdirkan untuk berjodoh, maka kami akan kembali dipersatukan-Nya dengan cara yang tidak siapa pun duga.”
Tri memandang sedih sahabatnya.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula. Daun yang menua dan angin yang bertiup kencang bisa menjadi penyebab daun berguguran. Remah kue akan terbawa angin dan tidak menjadi rezeki semut jika mereka bermalas-malasan. Dan pemanasan global bisa menjadi penyebab musim hujan dan kemarau tidak bisa diprediksikan waktunya.”
Rin kembali menunduk.
“Mas Aga pun pasti akan menerimamu kembali jika tahu alasan penolakanmu kemarin. Aku tidak akan memaksamu, Rin. Tapi aku selalu berharap, agar kebaikan selalu mengiringimu. Mudah-mudahan dia jodohmu,” do’a Tri memeluk Rin kembali.
***
Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Rin.
“Aku bersyukur, akhirnya ia bisa menemukan cinta pada pandangan pertamanya. Cinta sejati yang berakhir dalam bingkai pernikahan,” ucap Rin lega.
“Rin!” Kami menoleh. Seorang laki-laki sudah ada di samping mobil yang baru parkir depan mini market. Ia melambaikan tangan. Rin membalas lambaian tangan laki-laki itu.
“Kami pertama kali bertemu di kantin kampus. Waktu itu kami memesan minuman yang sama dan bebarengan mengucapkan pesanan kami. Kopi mocca. Lalu kami berpisah di rumah saat ayah menyediakannya kopi. Mungkin terdengar maksa ya? Tapi intinya, kami dipertemukan kembali di sebuah kantin rumah sakit tempat ia praktik. Seperti pertemuan pertama, waktu itu ia juga sedang memesan kopi. Semuanya berhubungan dengan kopi,” papar Rin sambil membenahi bawaannya.
So sweet. Jadi karena itu kamu suka kopi?”
“Bukan, tapi lebih karena kandungan kafein di dalamnya. Bagus lho, sebenarnya kalau tahu takaran yang dibutuhkan tubuh kita. Ada di buku yang kalau enggak salah, judulnya The Miracle of Caffeine. Di sana disebutkan kalau kafein bisa bermanfaat sebagai stimulan, untuk inteligensi, emosi positif, diet dan mencegah beberapa penyakit,” jelas Rin.
“Nanti aku pinjam buku yang itu ya. Sekarang tinggal aku saja yang belum nikah. Bisa enggak ya, aku menemukan cinta pada pandangan pertamaku itu? My Coffeemate,” tanyaku pada diri sendiri sambil menopang dagu.
“Lebih baik kamu juga mulai serius. Jangan hanya melihat fisiknya. Apa mau aku carikan?” tawar Rin.
“Boleh. Memangnya ada?” tanyaku antusias.
“Belum ada sih. Kan namanya juga baru mau bantu cari.”
“Hmmm, enggak usah, deh. Aku ikhtiar sendiri dulu. memperbaiki diri dulu supaya jodohku juga baik. Oke, see you tomorrow[3] ya. Kayaknya Dokter Sinaga sudah enggak sabar tuh,” goda Meri.
Rin tersenyum. Ia lalu berpamitan padaku. Sepeninggal Rin, aku menghabiskan kopi dan membuang wadahnya ke tempat sampah, lalu bergegas kembali mencari ke rak-rak yang memajang minuman. Ada satu barang lagi yang perlu kubeli.
“Tambah ini saja, mbak.”
Aku terkejut. Mbak-mbak di balik kasir pun sama, terkejut sekaligus bingung. Dua pembeli di hadapannya mengucapkan kalimat yang sama dan menyodorkan barang yang sama. Kopi Cappucino instan ukuran 500 gram. Laki-laki itu tersenyum. Aku pun menunduk sambil menahan senyum.
Mungkinkah aku juga seperti Rin, dipertemukan dengan jodoh oleh-Nya melalui kopi?
***



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
#MyCupOfStory 


[1] Cinta pada pandangan pertama
[2] Semoga kamu (kalian) juga.
[3] Sampai bertemu besok

CERPEN


COFFEEMATE
           
Cinta pada pandangan pertama terjadi karena fisik, bukan karena hati. Ia tidak benar-benar ada seutuhnya, tapi sebatas tampilan luar semata. Seperti halnya mengharapkan zam-zam di Gurun Sahara. Fatamorgana.
            Aku mengangguk-angguk. Masuk akal juga.
“Kamu kenapa, Mer? Angguk-angguk kepala enggak jelas,” celetuk perempuan yang duduk di depanku, terpisahkan oleh meja kecil tempat kami meletakkan minuman dan snack.
“Ini nih, aku setuju dengan kalimat dalam cerpen VANOZ ini. Judulnya Bukan Fatamorgana. Intinya, cinta pada pandangan pertama itu enggak pernah ada,” jelasku sambil menyodorkan majalah yang sedang kubaca. Ia memandang sekilas sambil mengangguk-angguk.
“Kamu juga enggak percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada?” tanyaku memastikan arti anggukannya.
“Itu dulu. Tapi enggak lagi. Kamu baru baca prolog hatinya saja kan? Coba baca sampai akhir. Dari judulnya saja sudah jelas, kalau akhirnya sang protagonis itu percaya bahwa love at first sight[1] itu bukan fatamorgana semata,” paparnya.
Aku terkesima. “Kamu sudah baca cerpennya?” tanyaku tak percaya.
“Itu kan majalah aku. Setiap buku atau majalah yang aku pinjamkan ke orang biasanya sudah kubaca habis,” jelasnya sambil menyeruput moccacino hangat.
Enggak seru. Niat mau mengejutkan dengan quote menarik, ternyata dia tahu lebih dulu.
“Kamu suka sekali kopi ya?” tanyaku selanjutnya. Setiap mampir ke kantin, warung, atau tempat lainnya yang menyediakan minuman, pesanan Rin selalu sama. Moccacino late. Kecuali jika sambil makan, ia memesan air putih juga. Termasuk di sini, sebuah mini market 24 jam yang menyediakan tiga set meja kursi untuk pembeli yang sekedar mampir untuk membeli minuman dan melepas penat.
“Rinai?” sapa seseorang. Aku dan Rin menoleh. Seorang perempuan berkerudung pashmina telah berdiri di samping meja kami.
“Ya Allah. Astri ya?” tanya Rin berusaha mengenali perempuan itu yang lalu ditimpali dengan anggukan. Rin bangkit dari duduknya lalu bersalaman sambil cipika-cipiki dengan Astri, sebelum akhirnya saling berpelukan.
“Sudah berapa lama ya kita enggak bertemu? Kamu bagaimana kabarnya? Sibuk apa sekarang?” tanya Rin antusias.
Astri tertawa. “Kamu itu selalu saja memborong pertanyaan. Kayak lagi di kelas saja. Aku jawab satu-satu deh. Terakhir kita bertemu ya sehari setelah wisuda kelulusan, jadi sudah lebih dari setahun. Alhamdulillah kabar aku baik dan sekarang sibuk jadi istri, alias ibu rumah tangga, hihihi ….,” paparnya.
“Lho jadi kamu sudah nikah? Kapan? Kok enggak undang-undang? Waktu nikahan aku juga enggak datang,” tanya Rin memasang wajah cemberut.
“Maaf, maaf. Soalnya dua hari setelah wisuda,  tepatnya sehari setelah aku dari rumah kamu, aku ada undangan wawancara kerja di luar negeri. Jadi aku minta adikku yang mewakilkan untuk menghadiri pernikahanmu. Tapi sebenarnya, kerjanya sih enggak jadi. Karena yang wawancara aku malah ngelamar aku. Hihihi. Akad juga cuma dihadiri keluarga inti, terus kami langsung terbang ke rumah suami. Resepsinya diadakan di sana,” jelas Astri.
“Di mana resepsinya?”
“Di Kuala Lumpur. Oh iya, ini suamiku, Hasan Sinclair,” memperkenalkan laki-laki yang datang dari arah kasir. Wajah orientalnya menunjukkan bahwa ia blasteran Melayu-Western.
Astaghfirullah. Aku lupa mengenalkan temanku juga. Kenalkan, ini rekanku di toko online, namanya Meri.”
Aku mendelik. Ingin rasanya mengatakan, “Akhirnya kamu ingat juga kalau aku masih di sini, non.” Rin meringis melihat pelototanku. Suami Astri tersenyum sambil mengangguk pada kami. Astri mengajakku bersalaman.
“Wah, jadi toko online yang kamu rintis waktu tingkat akhir kuliah itu masih jalan? Alhamdulillah ….,” Astri terlihat ikut senang.
“Iya, Alhamdulillah, sekalian mengisi waktu luang sebelum sibuk kalau diamanahi momongan,” ucap Rin tersipu.
“Ho, lagi ‘ngisi’ ya?”
Rin menggeleng. “Belum. Kami jarang bertemu selama setahun kemarin karena Mas Aga dinas praktik di NTB dan baru pindah ke sini pekan lalu,” aku Rin sambil tersenyum.
“Ho, jadi nikah setahun terasa seperti pengantin baru, dong ya?” goda Astri. “Barokallah ya, Rin. Mudah-mudahan Allah memberi yang terbaik untukmu dan keluarga,” sambungnya lagi.
Aamiin Allahumma aamiin, wa antuma aydhon.[2]
“Kami dipertemukan, berpisah, lalu bertemu kembali karena kopi. Tapi kurasa itu juga karena do’amu waktu itu.”
“Semua sudah ada dalam tulisan-Nya, Rin,” timpal Astri.
Rin mengangguk.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula,” ucap Rin dan Astri bersamaan. Keduanya pun tertawa.
Ckckck. Kompaknya.
 “Aku pamit dulu ya, Rin, Meri. Tadi janjinya ke luar sebentar ke orang tuaku dan mertua, jadi keasyikan ngobrol. Mudah-mudahan lain kali bisa ngobrol lebih lama. Kalau kalian enggak sibuk, main ke rumah ya,” ajak Astri. Kami mengangguk.
Insya Allah.
Astri cipika-cipiki lagi dengan Rin. Kali ini denganku juga. Rin tersenyum memandang kepergian Astri hingga mobil yang dinaiki sahabat lamanya dengan suami pergi dari tempat parkir. Tak hanya kebahagiaan bertemu teman lama, aku menangkap kelegaan juga di wajahnya.
“Kau tahu filosofi tentang kopi?” tanyaku sepeninggal Astri dan suaminya.
Rin menggeleng, ”aku belum menonton filmnya.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan film itu.”
“Lalu?”
“Filosofi yang ini berbeda. Ada quotes menarik tentangnya. Ini bunyinya. Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
“Bukankah quotes itu ada dalam karya Dee Lestari?” tanyanya.
“Ck. Kamu bilang belum nonton filmnya.”
“Aku memang belum nonton filmnya, tapi aku sudah baca bukunya. Lagipula aku memang sering lupa judul novel yang kubaca, tapi pengarang dengan quotesnya yang menarik tidak bisa kulupakan. Dari banyak quotes dalam novel Dee, ada tiga yang kusuka. Salah satunya yang baru kamu sebutkan tadi. Dua lainnya kamu mau dengar?”
Aku terpaksa mengangguk. Menolak pun kamu pasti akan tetap mengatakannya.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Saling menyayang bila ada ruang? Ini yang ke dua.”
Quote yang bagus. Tapi aku kok kayak baru dengar. Apa karena enggak nonton sampai akhir? Ini pasti karena aku sempat ketiduran di bioskop.
Separuh jiwa yang dia pikir hilang ternyata tidak pernah ke mana-mana, hanya berganti sisi, permainan gelap terangnya matahari dan bulan. Ini yang ke tiga.”
Ah, aku kalah telak. Dia selalu lebih banyak tahu daripada aku.
“Jadi, apa jawabanmu untuk pertanyaanku tadi?” tanyaku lagi.
“Pertanyaan yang mana?” tanya Rin sambil memandangku.
“Kenapa kamu begitu menyukai kopi?” Kopi yang kuseduh masih panas. Aku terpaksa menunggunya menghangat.
“Penting ya dijawab?” tanyanya lagi memasang wajah misterius.
“Penting dong. Kamu kan tahu aku ini orangnya kepo. Lagipula aku rasa, ada hubungannya dengan Astri.”
Rin menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali perlahan.
 “Sebenarnya tidak hanya kopi. Semua inovasi olahan kopi aku juga suka. Moccacino, Cappucino, kopi susu. Mungkin lebih tepat jika dibilang, aku ini penyuka caffeine yang banyak terkandung dalam kopi. “
***
“Kamu mau bicara apa, Tri?” tanya Rin membelakangi Tri. Ia tengah menjemur seragam wisuda dan toga yang dikenakannya kemarin. Gelar Sarjana Psikologi telah berhasil diraihnya.
“Mengenai Mas Aga, aku mau minta maaf,” ujar Tri pelan.
“Kamu tidak salah. Jadi apa yang perlu dimaafkan?” tanya Rin sambil membelakangi Tri. Pakaian di ember sudah habis. Tapi ia tidak masih di tempat, berdiri membelakangi Tri.
“Aku tidak ingin perpisahan kita seperti ini, Rin. Kita berteman baik-baik. Maka berpisah pun harus baik-baik.”
“Apa kamu anggap pertemuan ini perpisahan? Mengakhiri pertemanan?”
“Bukan itu maksudku. Aku masih dan ingin selalu berteman denganmu. Terutama setelah aku sadar akan satu hal. Kamu tipe orang yang rela mengalah demi sahabat.”
Rin terdiam.
“Apa kau puas dengan akhir yang seperti ini?” tanya Astri.
“Maksud kamu?” Rin balik tanya.
“Kenapa kamu tidak peka? Dia menyukaimu sejak pertama bertemu.”
“Mas Aga? Bukankah kamu tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Seperti halnya kamu tidak percaya bahwa aku menyukainya sejak pertama melihatnya. Lagipula sekarang, aku sudah tidak menyukainya.”
“Itu dulu, Rin. Sekarang aku sadar. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Termasuk cinta pada pandangan pertama. Ia tidak hanya mencintai sebatas fisik, tapi lebih karena inner beauty. Ia menyukaimu karena itu.”
“Tapi aku …. aku tidak menyukainya, Tri,” ucap Rin menunduk.
“Aku tahu kamu menyukainya, Rin. Sama seperti dia menyukaimu. Tapi kamu ingin menjaga perasaanku, bukan? Aku sudah tahu semuanya. Entah kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Kamu berusaha memendam perasaanmu demi aku.”
“Aku .… aku ….,” Rin memejamkan mata. Dua bulir air menetes dari sana.
Tangan Astri menyentuh pundak Rin. Rin berbalik dan menghambur ke pelukan Astri.
“Tapi aku sudah mengikhlaskannya, Tri. Aku sudah menolak lamarannya ke orang tuaku kemarin. Besok, dia berangkat ke NTB,” ucap Rin sambil menumpahkan tangisnya, membuat Tri terkejut lalu melepas pelukan Rin.
“Besok? Tapi masih belum terlambat, Rin. Aku akan menemuinya sekarang.”
Rin menggeleng. “Please, jangan, Tri. Aku sudah tulus melepaskannya. Kalaupun kami memang ditakdirkan untuk berjodoh, maka kami akan kembali dipersatukan-Nya dengan cara yang tidak siapa pun duga.”
Tri memandang sedih sahabatnya.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula. Daun yang menua dan angin yang bertiup kencang bisa menjadi penyebab daun berguguran. Remah kue akan terbawa angin dan tidak menjadi rezeki semut jika mereka bermalas-malasan. Dan pemanasan global bisa menjadi penyebab musim hujan dan kemarau tidak bisa diprediksikan waktunya.”
Rin kembali menunduk.
“Mas Aga pun pasti akan menerimamu kembali jika tahu alasan penolakanmu kemarin. Aku tidak akan memaksamu, Rin. Tapi aku selalu berharap, agar kebaikan selalu mengiringimu. Mudah-mudahan dia jodohmu,” do’a Tri memeluk Rin kembali.
***
Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Rin.
“Aku bersyukur, akhirnya ia bisa menemukan cinta pada pandangan pertamanya. Cinta sejati yang berakhir dalam bingkai pernikahan,” ucap Rin lega.
“Rin!” Kami menoleh. Seorang laki-laki sudah ada di samping mobil yang baru parkir depan mini market. Ia melambaikan tangan. Rin membalas lambaian tangan laki-laki itu.
“Kami pertama kali bertemu di kantin kampus. Waktu itu kami memesan minuman yang sama dan bebarengan mengucapkan pesanan kami. Kopi mocca. Lalu kami berpisah di rumah saat ayah menyediakannya kopi. Mungkin terdengar maksa ya? Tapi intinya, kami dipertemukan kembali di sebuah kantin rumah sakit tempat ia praktik. Seperti pertemuan pertama, waktu itu ia juga sedang memesan kopi. Semuanya berhubungan dengan kopi,” papar Rin sambil membenahi bawaannya.
So sweet. Jadi karena itu kamu suka kopi?”
“Bukan, tapi lebih karena kandungan kafein di dalamnya. Bagus lho, sebenarnya kalau tahu takaran yang dibutuhkan tubuh kita. Ada di buku yang kalau enggak salah, judulnya The Miracle of Caffeine. Di sana disebutkan kalau kafein bisa bermanfaat sebagai stimulan, untuk inteligensi, emosi positif, diet dan mencegah beberapa penyakit,” jelas Rin.
“Nanti aku pinjam buku yang itu ya. Sekarang tinggal aku saja yang belum nikah. Bisa enggak ya, aku menemukan cinta pada pandangan pertamaku itu? My Coffeemate,” tanyaku pada diri sendiri sambil menopang dagu.
“Lebih baik kamu juga mulai serius. Jangan hanya melihat fisiknya. Apa mau aku carikan?” tawar Rin.
“Boleh. Memangnya ada?” tanyaku antusias.
“Belum ada sih. Kan namanya juga baru mau bantu cari.”
“Hmmm, enggak usah, deh. Aku ikhtiar sendiri dulu. memperbaiki diri dulu supaya jodohku juga baik. Oke, see you tomorrow[3] ya. Kayaknya Dokter Sinaga sudah enggak sabar tuh,” goda Meri.
Rin tersenyum. Ia lalu berpamitan padaku. Sepeninggal Rin, aku menghabiskan kopi dan membuang wadahnya ke tempat sampah, lalu bergegas kembali mencari ke rak-rak yang memajang minuman. Ada satu barang lagi yang perlu kubeli.
“Tambah ini saja, mbak.”
Aku terkejut. Mbak-mbak di balik kasir pun sama, terkejut sekaligus bingung. Dua pembeli di hadapannya mengucapkan kalimat yang sama dan menyodorkan barang yang sama. Kopi Cappucino instan ukuran 500 gram. Laki-laki itu tersenyum. Aku pun menunduk sambil menahan senyum.
Mungkinkah aku juga seperti Rin, dipertemukan dengan jodoh oleh-Nya melalui kopi?
***



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
#MyCupOfStory 


[1] Cinta pada pandangan pertama
[2] Semoga kamu (kalian) juga.
[3] Sampai bertemu besok

CERPEN


COFFEEMATE
           
Cinta pada pandangan pertama terjadi karena fisik, bukan karena hati. Ia tidak benar-benar ada seutuhnya, tapi sebatas tampilan luar semata. Seperti halnya mengharapkan zam-zam di Gurun Sahara. Fatamorgana.
            Aku mengangguk-angguk. Masuk akal juga.
“Kamu kenapa, Mer? Angguk-angguk kepala enggak jelas,” celetuk perempuan yang duduk di depanku, terpisahkan oleh meja kecil tempat kami meletakkan minuman dan snack.
“Ini nih, aku setuju dengan kalimat dalam cerpen VANOZ ini. Judulnya Bukan Fatamorgana. Intinya, cinta pada pandangan pertama itu enggak pernah ada,” jelasku sambil menyodorkan majalah yang sedang kubaca. Ia memandang sekilas sambil mengangguk-angguk.
“Kamu juga enggak percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada?” tanyaku memastikan arti anggukannya.
“Itu dulu. Tapi enggak lagi. Kamu baru baca prolog hatinya saja kan? Coba baca sampai akhir. Dari judulnya saja sudah jelas, kalau akhirnya sang protagonis itu percaya bahwa love at first sight[1] itu bukan fatamorgana semata,” paparnya.
Aku terkesima. “Kamu sudah baca cerpennya?” tanyaku tak percaya.
“Itu kan majalah aku. Setiap buku atau majalah yang aku pinjamkan ke orang biasanya sudah kubaca habis,” jelasnya sambil menyeruput moccacino hangat.
Enggak seru. Niat mau mengejutkan dengan quote menarik, ternyata dia tahu lebih dulu.
“Kamu suka sekali kopi ya?” tanyaku selanjutnya. Setiap mampir ke kantin, warung, atau tempat lainnya yang menyediakan minuman, pesanan Rin selalu sama. Moccacino late. Kecuali jika sambil makan, ia memesan air putih juga. Termasuk di sini, sebuah mini market 24 jam yang menyediakan tiga set meja kursi untuk pembeli yang sekedar mampir untuk membeli minuman dan melepas penat.
“Rinai?” sapa seseorang. Aku dan Rin menoleh. Seorang perempuan berkerudung pashmina telah berdiri di samping meja kami.
“Ya Allah. Astri ya?” tanya Rin berusaha mengenali perempuan itu yang lalu ditimpali dengan anggukan. Rin bangkit dari duduknya lalu bersalaman sambil cipika-cipiki dengan Astri, sebelum akhirnya saling berpelukan.
“Sudah berapa lama ya kita enggak bertemu? Kamu bagaimana kabarnya? Sibuk apa sekarang?” tanya Rin antusias.
Astri tertawa. “Kamu itu selalu saja memborong pertanyaan. Kayak lagi di kelas saja. Aku jawab satu-satu deh. Terakhir kita bertemu ya sehari setelah wisuda kelulusan, jadi sudah lebih dari setahun. Alhamdulillah kabar aku baik dan sekarang sibuk jadi istri, alias ibu rumah tangga, hihihi ….,” paparnya.
“Lho jadi kamu sudah nikah? Kapan? Kok enggak undang-undang? Waktu nikahan aku juga enggak datang,” tanya Rin memasang wajah cemberut.
“Maaf, maaf. Soalnya dua hari setelah wisuda,  tepatnya sehari setelah aku dari rumah kamu, aku ada undangan wawancara kerja di luar negeri. Jadi aku minta adikku yang mewakilkan untuk menghadiri pernikahanmu. Tapi sebenarnya, kerjanya sih enggak jadi. Karena yang wawancara aku malah ngelamar aku. Hihihi. Akad juga cuma dihadiri keluarga inti, terus kami langsung terbang ke rumah suami. Resepsinya diadakan di sana,” jelas Astri.
“Di mana resepsinya?”
“Di Kuala Lumpur. Oh iya, ini suamiku, Hasan Sinclair,” memperkenalkan laki-laki yang datang dari arah kasir. Wajah orientalnya menunjukkan bahwa ia blasteran Melayu-Western.
Astaghfirullah. Aku lupa mengenalkan temanku juga. Kenalkan, ini rekanku di toko online, namanya Meri.”
Aku mendelik. Ingin rasanya mengatakan, “Akhirnya kamu ingat juga kalau aku masih di sini, non.” Rin meringis melihat pelototanku. Suami Astri tersenyum sambil mengangguk pada kami. Astri mengajakku bersalaman.
“Wah, jadi toko online yang kamu rintis waktu tingkat akhir kuliah itu masih jalan? Alhamdulillah ….,” Astri terlihat ikut senang.
“Iya, Alhamdulillah, sekalian mengisi waktu luang sebelum sibuk kalau diamanahi momongan,” ucap Rin tersipu.
“Ho, lagi ‘ngisi’ ya?”
Rin menggeleng. “Belum. Kami jarang bertemu selama setahun kemarin karena Mas Aga dinas praktik di NTB dan baru pindah ke sini pekan lalu,” aku Rin sambil tersenyum.
“Ho, jadi nikah setahun terasa seperti pengantin baru, dong ya?” goda Astri. “Barokallah ya, Rin. Mudah-mudahan Allah memberi yang terbaik untukmu dan keluarga,” sambungnya lagi.
Aamiin Allahumma aamiin, wa antuma aydhon.[2]
“Kami dipertemukan, berpisah, lalu bertemu kembali karena kopi. Tapi kurasa itu juga karena do’amu waktu itu.”
“Semua sudah ada dalam tulisan-Nya, Rin,” timpal Astri.
Rin mengangguk.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula,” ucap Rin dan Astri bersamaan. Keduanya pun tertawa.
Ckckck. Kompaknya.
 “Aku pamit dulu ya, Rin, Meri. Tadi janjinya ke luar sebentar ke orang tuaku dan mertua, jadi keasyikan ngobrol. Mudah-mudahan lain kali bisa ngobrol lebih lama. Kalau kalian enggak sibuk, main ke rumah ya,” ajak Astri. Kami mengangguk.
Insya Allah.
Astri cipika-cipiki lagi dengan Rin. Kali ini denganku juga. Rin tersenyum memandang kepergian Astri hingga mobil yang dinaiki sahabat lamanya dengan suami pergi dari tempat parkir. Tak hanya kebahagiaan bertemu teman lama, aku menangkap kelegaan juga di wajahnya.
“Kau tahu filosofi tentang kopi?” tanyaku sepeninggal Astri dan suaminya.
Rin menggeleng, ”aku belum menonton filmnya.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan film itu.”
“Lalu?”
“Filosofi yang ini berbeda. Ada quotes menarik tentangnya. Ini bunyinya. Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
“Bukankah quotes itu ada dalam karya Dee Lestari?” tanyanya.
“Ck. Kamu bilang belum nonton filmnya.”
“Aku memang belum nonton filmnya, tapi aku sudah baca bukunya. Lagipula aku memang sering lupa judul novel yang kubaca, tapi pengarang dengan quotesnya yang menarik tidak bisa kulupakan. Dari banyak quotes dalam novel Dee, ada tiga yang kusuka. Salah satunya yang baru kamu sebutkan tadi. Dua lainnya kamu mau dengar?”
Aku terpaksa mengangguk. Menolak pun kamu pasti akan tetap mengatakannya.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Saling menyayang bila ada ruang? Ini yang ke dua.”
Quote yang bagus. Tapi aku kok kayak baru dengar. Apa karena enggak nonton sampai akhir? Ini pasti karena aku sempat ketiduran di bioskop.
Separuh jiwa yang dia pikir hilang ternyata tidak pernah ke mana-mana, hanya berganti sisi, permainan gelap terangnya matahari dan bulan. Ini yang ke tiga.”
Ah, aku kalah telak. Dia selalu lebih banyak tahu daripada aku.
“Jadi, apa jawabanmu untuk pertanyaanku tadi?” tanyaku lagi.
“Pertanyaan yang mana?” tanya Rin sambil memandangku.
“Kenapa kamu begitu menyukai kopi?” Kopi yang kuseduh masih panas. Aku terpaksa menunggunya menghangat.
“Penting ya dijawab?” tanyanya lagi memasang wajah misterius.
“Penting dong. Kamu kan tahu aku ini orangnya kepo. Lagipula aku rasa, ada hubungannya dengan Astri.”
Rin menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali perlahan.
 “Sebenarnya tidak hanya kopi. Semua inovasi olahan kopi aku juga suka. Moccacino, Cappucino, kopi susu. Mungkin lebih tepat jika dibilang, aku ini penyuka caffeine yang banyak terkandung dalam kopi. “
***
“Kamu mau bicara apa, Tri?” tanya Rin membelakangi Tri. Ia tengah menjemur seragam wisuda dan toga yang dikenakannya kemarin. Gelar Sarjana Psikologi telah berhasil diraihnya.
“Mengenai Mas Aga, aku mau minta maaf,” ujar Tri pelan.
“Kamu tidak salah. Jadi apa yang perlu dimaafkan?” tanya Rin sambil membelakangi Tri. Pakaian di ember sudah habis. Tapi ia tidak masih di tempat, berdiri membelakangi Tri.
“Aku tidak ingin perpisahan kita seperti ini, Rin. Kita berteman baik-baik. Maka berpisah pun harus baik-baik.”
“Apa kamu anggap pertemuan ini perpisahan? Mengakhiri pertemanan?”
“Bukan itu maksudku. Aku masih dan ingin selalu berteman denganmu. Terutama setelah aku sadar akan satu hal. Kamu tipe orang yang rela mengalah demi sahabat.”
Rin terdiam.
“Apa kau puas dengan akhir yang seperti ini?” tanya Astri.
“Maksud kamu?” Rin balik tanya.
“Kenapa kamu tidak peka? Dia menyukaimu sejak pertama bertemu.”
“Mas Aga? Bukankah kamu tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Seperti halnya kamu tidak percaya bahwa aku menyukainya sejak pertama melihatnya. Lagipula sekarang, aku sudah tidak menyukainya.”
“Itu dulu, Rin. Sekarang aku sadar. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Termasuk cinta pada pandangan pertama. Ia tidak hanya mencintai sebatas fisik, tapi lebih karena inner beauty. Ia menyukaimu karena itu.”
“Tapi aku …. aku tidak menyukainya, Tri,” ucap Rin menunduk.
“Aku tahu kamu menyukainya, Rin. Sama seperti dia menyukaimu. Tapi kamu ingin menjaga perasaanku, bukan? Aku sudah tahu semuanya. Entah kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Kamu berusaha memendam perasaanmu demi aku.”
“Aku .… aku ….,” Rin memejamkan mata. Dua bulir air menetes dari sana.
Tangan Astri menyentuh pundak Rin. Rin berbalik dan menghambur ke pelukan Astri.
“Tapi aku sudah mengikhlaskannya, Tri. Aku sudah menolak lamarannya ke orang tuaku kemarin. Besok, dia berangkat ke NTB,” ucap Rin sambil menumpahkan tangisnya, membuat Tri terkejut lalu melepas pelukan Rin.
“Besok? Tapi masih belum terlambat, Rin. Aku akan menemuinya sekarang.”
Rin menggeleng. “Please, jangan, Tri. Aku sudah tulus melepaskannya. Kalaupun kami memang ditakdirkan untuk berjodoh, maka kami akan kembali dipersatukan-Nya dengan cara yang tidak siapa pun duga.”
Tri memandang sedih sahabatnya.
“Daun yang berguguran, remah kue yang dibawa semut, dan kemarau panjang, semuanya memang sudah ada dalam tulisan-Nya. Tapi selalu ada penyebab sebelum membicarakan akibat. Proses dan usaha yang terbaiklah yang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik pula. Daun yang menua dan angin yang bertiup kencang bisa menjadi penyebab daun berguguran. Remah kue akan terbawa angin dan tidak menjadi rezeki semut jika mereka bermalas-malasan. Dan pemanasan global bisa menjadi penyebab musim hujan dan kemarau tidak bisa diprediksikan waktunya.”
Rin kembali menunduk.
“Mas Aga pun pasti akan menerimamu kembali jika tahu alasan penolakanmu kemarin. Aku tidak akan memaksamu, Rin. Tapi aku selalu berharap, agar kebaikan selalu mengiringimu. Mudah-mudahan dia jodohmu,” do’a Tri memeluk Rin kembali.
***
Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Rin.
“Aku bersyukur, akhirnya ia bisa menemukan cinta pada pandangan pertamanya. Cinta sejati yang berakhir dalam bingkai pernikahan,” ucap Rin lega.
“Rin!” Kami menoleh. Seorang laki-laki sudah ada di samping mobil yang baru parkir depan mini market. Ia melambaikan tangan. Rin membalas lambaian tangan laki-laki itu.
“Kami pertama kali bertemu di kantin kampus. Waktu itu kami memesan minuman yang sama dan bebarengan mengucapkan pesanan kami. Kopi mocca. Lalu kami berpisah di rumah saat ayah menyediakannya kopi. Mungkin terdengar maksa ya? Tapi intinya, kami dipertemukan kembali di sebuah kantin rumah sakit tempat ia praktik. Seperti pertemuan pertama, waktu itu ia juga sedang memesan kopi. Semuanya berhubungan dengan kopi,” papar Rin sambil membenahi bawaannya.
So sweet. Jadi karena itu kamu suka kopi?”
“Bukan, tapi lebih karena kandungan kafein di dalamnya. Bagus lho, sebenarnya kalau tahu takaran yang dibutuhkan tubuh kita. Ada di buku yang kalau enggak salah, judulnya The Miracle of Caffeine. Di sana disebutkan kalau kafein bisa bermanfaat sebagai stimulan, untuk inteligensi, emosi positif, diet dan mencegah beberapa penyakit,” jelas Rin.
“Nanti aku pinjam buku yang itu ya. Sekarang tinggal aku saja yang belum nikah. Bisa enggak ya, aku menemukan cinta pada pandangan pertamaku itu? My Coffeemate,” tanyaku pada diri sendiri sambil menopang dagu.
“Lebih baik kamu juga mulai serius. Jangan hanya melihat fisiknya. Apa mau aku carikan?” tawar Rin.
“Boleh. Memangnya ada?” tanyaku antusias.
“Belum ada sih. Kan namanya juga baru mau bantu cari.”
“Hmmm, enggak usah, deh. Aku ikhtiar sendiri dulu. memperbaiki diri dulu supaya jodohku juga baik. Oke, see you tomorrow[3] ya. Kayaknya Dokter Sinaga sudah enggak sabar tuh,” goda Meri.
Rin tersenyum. Ia lalu berpamitan padaku. Sepeninggal Rin, aku menghabiskan kopi dan membuang wadahnya ke tempat sampah, lalu bergegas kembali mencari ke rak-rak yang memajang minuman. Ada satu barang lagi yang perlu kubeli.
“Tambah ini saja, mbak.”
Aku terkejut. Mbak-mbak di balik kasir pun sama, terkejut sekaligus bingung. Dua pembeli di hadapannya mengucapkan kalimat yang sama dan menyodorkan barang yang sama. Kopi Cappucino instan ukuran 500 gram. Laki-laki itu tersenyum. Aku pun menunduk sambil menahan senyum.
Mungkinkah aku juga seperti Rin, dipertemukan dengan jodoh oleh-Nya melalui kopi?
***



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
#MyCupOfStory 


[1] Cinta pada pandangan pertama
[2] Semoga kamu (kalian) juga.
[3] Sampai bertemu besok